Bagai hujan kembali kepada sang ibu pertiwi
Hujan siang itu
menarikku untuk keluar rumah. Ku turuti saja. Dingin yang menyengat tak
menghalangi asaku yang beberapa hari ini sedang rindu untuk menatap dan
menyentuh hujan. Ku buka tangan ku. Kubiarkan butiran-butiran lembut tetapi
menyimpan kekuatan, mengenai tepat di telapak tanganku. Hujan ini, membawa
seluruh diriku berlari ke masa kecilku. Masa anak-anak yang bermain dengan
senangnya di bawah hujan. Saat dimana kami sebagai anak kecil mengalami bahwa
hujan membuat sakit hanyalah mitos. Bermain di bawah hujan sungguh kegembiraan
yang membebaskan.
Hujan yang sama
itu pula, membawa ku pada masa remaja. Saat gelegar petir menyambar di
sekelilingku, yang membuatku bersama ibu kala itu mau tak mau harus berlari
menuju “sopo”. “Sopo” adalah tempat
berteduh sementara yang dibangun sederhana di ladang. Aku masih dapat merasakan
dinginnya hujan yang menyentuh kulitku kala itu. Di sopo itu, aku dan ibu ku
diam saja menatap rintik-rintik hujan. Dalam hening itu, ku dengar ibuku sedang
berbicara walau sebenarnya ia tak memperdengarkan suara. Tampaknya kami sedang
berbicara dari hati ke hati.
“Anakku, bumi
ini, hidup ini adalah tempat perhentian kita sementara. Bagaikan saat kita
sedang berteduh di sopo ini. Pada waktunya kita akan pulang ke rumah abadi
kita, tempat dimana kita berada seharusnya. Bisa saja badai begitu keras
disini. Bisa saja angin begitu kencang terasa. Tapi kita punya keyakinan dan
harapan bahwa semua itu akan berlalu. Tataplah hujan ini. Dia punya perjalanan
yang jauh dari langit, hingga akhirnya ia kembali bersatu dengan ibu pertiwi.
Segala hal yang ia jumpai di perjalanan tak menghalanginya untuk kembali,
anakku. Tetaplah gembira anakku, seperti kegembiraan seorang yang akan memasuki
tanah air surgawi dan berjumpa dengan seseorang yang ia cintai. Kegembiraan itu
yang akan selalu membangkitkan semangat hidup kita bahwa semua yang kita
lakukan di tanah perhentian ini adalah cara kita mencintai Dia yang telah
memberikan hidup ini kepada kita. Maka tetaplah bergembira anakku, sampai waktu
kita berakhir dan kita di dapati setia oleh-Nya.”
Hujan itu terus
menari-nari, berjatuhan di telapak tangan ku dan membawaku sadar kembali.
Kembali pada realita ku saat ini. Hujan telah membuat ku bermenung tentang akhir
dari sebuah perjalanan kehidupan. Jika waktu ku tiba, kepada Dialah aku akan
pulang. Pengalaman pulang ini setiap kali membuatku ingin memberikan yang
terbaik dari diriku bagi kehidupan, bagi setiap pribadi yang ia hadiahkan
bagiku, termasuk setia dalam tugas-tugas yang dipercayakan padaku. Hujan, juga
perjumpaan dengan ibuku melalui hujan telah mengjariku bahwa hidup ini begitu
berharga dan aku akan menghargai setiap waktu yang Ia berikan padaku. Deo
gratias.
Sr Maria Rosa PI
Tataplah hujan ini. Dia punya perjalanan yang jauh dari langit, hingga akhirnya ia kembali bersatu dengan ibu pertiwi. Segala hal yang ia jumpai di perjalanan tak menghalanginya untuk kembali.
BalasHapusMantap ...
Pada saatnya, kita akan pulang ke tempat dimana seharusnya kita berada.
HapusSalam kenal suster Maria Rosa. Saya telah agak lama membaca tulisan tulisan suster di blog ini. Saya menyukai tulisan suster tentang hujan ini, karena saya juga menyukai hujan, biarpun tidak seperti suster yang memberikan makna yang luar biasa kepada hujan. Saya menyukai suasana di saat hujan, selalu memberikan keheningan bagi hati saya.
BalasHapusSaya melihat sudah agak lama suster tidak mengupdate tulisan di blog ini. Saya harapkan suster dalam keadaan baik baik saja. Saya berdoa semoga suster dalam keadaaan sehat dan bersemangat dalam karya dan panggilan suster. Biarpun tidak kenal secara pibadi, tapi saya merasa dekat dengan suster melalui tulisan tulisan suster di blog ini.
Hallo Alex Oktav. Salam kenal. Hujan selalu memberi cerita yang menarik. Hujan seringkali berbicara tentang keheningan yang kuat dan dalam.
HapusTerimakasih untuk sapaannya ya.
Salam dan doaku