Sensitif?

 


Sensitif, bagaimana mungkin?

Tadi siang, setelah latihan persiapan Temu Hari Anak Misioner di Paroki, bersama Sr. Paulina aku segera pulang ke komunitas karena sudah janjian untuk Yoga dengan pasien. Di perjalanan, aku teringat bahwa perlu membeli buah untuk komunitas. Maka mampirlah kami di toko buah langgaran. lihat sana-sini, sampailah pada keputusan untuk membeli duku. Saat hendak memilih, sang penjual katakan “pakai ini mbak, soalnya buahnya sensitif” katanya sambil menyodorkan piring melamin padaku. Aku mengernyitkan kening. “kalau disentuh tangan, buahnya sensitif, jadi cepat hitam mbak” lanjutnya seperti membaca pikiranku. Buah duku, gampang menghitam- sensitif- seperti bahasa penjual buah.

Kata -kata itu masih menggelitik dihatiku, buah duku mempunyai sensitifitas pada panas sehingga saat disentuh oleh tangan manusia, cepat berubah menjadi hitam. Buah si buruk rupa demikianlah duku sering dijuluki, walaupun sebenarnya bagian dalamnya masih baik dan tidak rusak.

Aku sedang tidak berbicara soal duku dan bedah materi soal tanaman ini, yang menarik bagiku adalah ketidaktahanan buah tersebut terhadap suatu hal, yang membuatnya mudah berubah, mudah rusak, menjadi sensitif, kadangkala menjadi cerita kehidupan kita.

Hidup ini seringkali dihadapkan pada suatu perubahan, bahkan perubahan itu terjadi sangat cepat. Saat hati tidak punya “kekuatan” untuk beradaptasi dengan lingkungan, disitulah kita akan mengalami kematian, atau paling tidak kita menjadi sensitif.

Masih jelas terekam dalam ingatan, saat seorang teman bertanya “gula dimana ya?” yang lain menyahut “sudah berapa lama kamu disini, sampai gula saja tidak tahu dimana tempatnya?” hati yang sensitif bahkan tidak mampu menerima ketidakberesan (menurut anggapannya) dalam diri orang lain, yang sebenarnya hanya perlu menjawab “di lemari atas” selesai!!!

Ada beberapa hal yang membuat kita menjadi sensitif, setidaknya dari beberapa pengalaman yang kurasakan: rasa lelah, rasa lapar, relasi yang tak mendalam dengan yang Ilahi.

Akhirnya, buah duku itu pun tersaji di ruang makan. Kami menikmati dengan sukacita, bahkan seorang suster berkata “kalau berhenti makan kok jadi pahit ya”, diiringi gelak tawa kami sambil membuka satu persatu duku itu, menikmati sebelum dia menjadi sensitif.

Mari menepi sejenak kawan, mungkin kita terlalu lelah sehingga kita kehilangan rasa humor serta memandang hidup dengan amarah dan benteng pertahan. Sejatinya, walau jalan itu tak lurus, selalu ada hal yang asik dan lucu

Hodie Incipiam, Hari ini aku mau memulai (lagi)

Temanggung, 14 Januari 2023

Rosa Sagala, SDP

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMANDANG SALIB

KISAH MENJELANG NATAL

DIAN