BERTEMAN DENGAN SEPI
“Saya nggak bisa suster!!!”
Ungkap seorang ibu saat aku mengajak
untuk masuk dalam keheningan meditasi Kristiani. “kenapa?” tanyaku. “hening
itu sepi, sendiri dan saya takut masuk kedalamnya, yang jelas saya tidak kuat.
Ingin cepat-cepat mengakhirinya.”
“Kenapa bisa begitu??” tanya ku lagi
“saya tidak tahu suster” begitu
katanya
Kami sama-sama terdiam. Kata tidak
tahunya membuat ku semakin ingin mengajak ibu ini untuk hening, tapi tentu aku
tak ingin memaksanya.
“Datanglah minggu depan bu, kalau mau
mencoba untuk masuk dalam keheningan. Percayalah, ada banyak hal yang dapat
disyukuri.” Kataku mengakhiri pembicaraan kami malam itu.
Dan benar saja, dia datang. Aha.. dia
menerima tantangan ku, ungkapku dalam hati sambil membalas senyumannya.
Aku tidak ikut meditasi. Aku hanya
mengantarkan ia bergabung dengan kelompok meditasi yang telah siap di kapel
susteran. Lalu aku melanjutkan aktivitasku.
Sebelum sang ibu pulang, kami masih
sempat berbincang. Beliau bercerita tentang kegelisahan hatinya saat masuk
dalam keheningan. Ia ingin lari dan tak ingin masuk. Namun, ia mencoba untuk
bertahan. Mencoba tetap hening dan hening. Aku menyemangati ibu itu untuk terus
berlatih hening, masuk justru pada ketakutannya dan akhirnya menemukan suatu
makna dari pergulatannya.
Pengalaman ini pula lah yang
membuatku tertantang untuk mengajak orang-orang muda berani masuk dalam rasa
sepi. Masih jelas dalam ingatanku, saat anak-anak remaja ku ajak untuk meditasi
alam. Bangun pagi tanpa memegang hp dan langsung menuju lapangan. Awalnya
banyak dari mereka yang protes. “nggak bisa suster” “sepi suster” “nggak biasa
suster” “aneh suster”itulah kesan mereka saat kutanya apa yang dirasakan saat
masuk dalam keheningan. Namun diakhir hening aku menemukan pengalaman yang
istimewa dari mereka. “ini pengalaman pertamaku, bersentuhan dengan alam dan
keheningan. Sepi dan rasanya aneh. Tetapi ketika aku mulai masuk dalam
keheningan itu, aku mulai bersyukur untuk hal-hal kecil yang kualami. atas
udara dan nafas kehidupan, atas embun pagi yang menyentuh rerumputan, atas
matahari yang mulai bersinar, atas apa saja yang ada didunia ini, bahkan
semakin menyadari betapa kecilnya diri ini dihadapan Tuhan.” Ini adalah
rangkuman refleksi mereka, dan aku begitu kagum dengan keberanian mereka untuk
masuk dalam keheningan dan kesepian yang ada.
Keheningan, bagi banyak orang menjadi
suatu yang menakutkan. Dalam keheningan itu, mau tidak mau manusia akan bertemu
dengan dirinya yang sejati. Dalam keheningan manusia akan menjumpai kerapuhan
tetapi kekuatan dirinya. Memang tidak mudah menatap luka dalam diri, serasa
kembali lagi pada peristiwa itu. Terhadap suatu yang menyenangkan tentu akan
membangkitkan semangat. Tetapi terhadap suatu penderitaan dan pengalaman luka,
siapakah mampu untuk bertahan? Tetapi ketika orang mau berteman dengan kesepian
dan keheningan hatinya disanalah ia akan menemukan makna hidup. Sepi, sendiri,
yang ada hanya aku dan Tuhanku.
Berteman dengan sepi adalah saat aku
sungguh menerima semua pengalaman diri, berani menatapnya di hadapan Tuhandan
sungguh menjadi apa adanya. Berteman dengan sepi adalah saat aku mampu
merangkul dan bersyukur atas segala pengalaman hidup terlebih mampu menangkap
Tuhan yang lebih besar dari segala yang aku alami dan pikirkan.
Tuhan memberkati.
Sr Maria Rosa PI
Komentar
Posting Komentar