Senja di Mandrehe



Hujan telah berhenti membasahi tanah yang kami injak, tetapi telah membuat jalanan menjadi becek. Ini adalah hari kedua ku di tanah Nias. Aku senang, menjelajahi sudut-sudut tanah ini dan menemukan keindahan disetiap tatapan mata. “Jahowu” ungkapan ini selalu ku dengar saat berjumpa dengan orang-orang disana.
Ini di Mandrehe. Ya!! Sore itu aku menawarkan diri ikut rombongan pastor untuk mengambil kelapa, tepatnya mengambil makan untuk babi. Aku juga heran, di sini kelapa dijadikan makanan babi.
Masih dalam kesunyian saat perjalanan-karena aku belum mengenal setiap pribadi- sampai pada pertanyaan-pertanyaan yang muncul karena banyak hal baru yang aku rasakan, menjadikan suasana senja itu makin akrab.
Aku melompat dari jeep tua yang kami tumpangi. Barisan nyiur melambai menyambut kehadiran kami. Tempat kami megambil kelapa ini adalah daerah pantai dimana salah satu pastor dari Mandrehe berkarya disini.
Di tanah, ini, mataku memandang rumah tua yang berdiri kokoh, tapi serasa mengisyaratkan sebuah sejarah. Romo yang bertugas disana mengajak ku untuk berkeliling. “ayo suster, kita lihat ke belakang” aku mengikut saja sambil berjalan mengikuti jejak romo itu. Aku terhenti, saat mata ku menangkap pemandangan yang memilukan. Bangunan yang mulai reok, lapuk dan tampak miring. Ada batas yang jelas terlihat di dinding bagian belakang. “ini batas air ketika gempa mengguncang Nias beberapa tahun yang lalu.” Tampak ada rasa pilu membayangkan orang-orang di ruangan ini mengalami kepanikan saat berjuang diambang hidup dan mati. Semua tinggal kenangan dan dibalik tembok itu, aku telah melihat nyiur yang menghijau dan melambai. Aku telah melihat tanah-tanah menghasilkan tetumbuhan. tepat di sepanjang pantai belakang bangunan pastoran.
Aku tertegun, di tanah penuh kenangan bersejarah ini, Tuhan telah menumbuhkan kehidupan. Aku telah melihat senyum di wajah orang-orang yang mengucapkan “Jahowu” padaku. Aku juga melihat sebuah harapan telah ditanam disini, sehingga pada waktunya akan dituai dengan kegembiraan.
Harapan itu terus dibangun dengan berbagai perbuatan kasih yang dilakukan di tanah ini. Pelayanan yang diberikan oleh para suster dan romo untuk membantu masyarakat Nias sungguhlah sumbangan yang besar untuk membangun Nias yang lebih baik. Mereka adalah tangan Penyelenggaraan Allah untuk membangun harapan dan menyatakan Allah yang penuh kasih di tanah ini.
Permenungan ku terhenti, saat romo kembali memanggilku unntuk menerima anak babi pemberian dari umat. What? Anak babi? Ya, ada kemurahan hati ku temui disini. Pemberian diri seringkali dibayar dengan apa yang ada. Babi, ayam, sayuran, buah, beras, apa saja. Seperti yang kualami senja ini. Babi pemberian umat masih kecil, tapi agak berat. Ku terima dengan senang hati dan tertawa keras. Ini pertama kali dalam sejarah hidupku, aku membopong anak babi. Itu menyenangkan.
Senja di Mandrehe, membawaku pada perjalanan dari manusiawi menuju yang Ilahi. Dari duka sampai pada harapan baru. Dari kegelapan menuju terang. Allah, kami percaya hidup kami ada dalam tangan penyelenggaraan Mu, jadikanlah kami setia dalam pengabdian kepada-Mu.
Salam.
Sr Maria Rosa


Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Mereka Tidak Suka Pura-Pura"

KISAH MENJELANG NATAL

DIAN