Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Tampaknya Sejak Kecil

Gambar
Ingatkah engkau masa kecil kita? ............. Tampaknya sejak kecil kita telah dilatih untuk menderita dan berjuang. Tak ada waktu liburan, tak ada waktu jalan-jalan. Setiap hari kita, telah dibagi dengan  tugas masing-masing. memasak, ambil kayu, cuci piring dan “ mangalap aek ”. Kadang kita mengeluh, kadang kita protes, kadang kita nakal dan ingin lari. Tetapi kita toh akhirnya menjalani dan menyelesaikan setiap proses yang ditawarkan kehidupan. .............. Tampaknya sejak kecil kita telah dilatih untuk menderita dan berjuang. Dan hal yang paling ku ingat adalah saat kita harus “ mangalap aek ” ke aek huta . Aku paling benci jalan itu ( walau sekarang aku telah menerimanya ): menurun, licin dan penuh perjuangan. Jalan yang kita lalui juga jalan yang berbeda dari yang lain. Mereka (teman-teman kampung lainnya) datang dan pergi dari arah yang berlainan dari kita. Mereka bisa bersama saat datang dan pulang, sementara kita, ya hanya kita, berempat. ............ Tampakn

RAHIM

Gambar
Membantu proses kelahiran, membawa ku pada pengenalan akan makna RAHIM , sang terminal kehidupanku . Disanalah awal pembentukanku, disanalah benih kehidupan bernama Maria Rosa ditaburkan. Rahim itu, telah menerima kehadiran janin kecil, merawatnya dengan kelimpahan dan menjaganya dari kematian. Rahim adalah tempat paling nyaman bagi seorang yang mengalami hidup. Bila waktunya tiba, rahim itu takkan pernah egois, dia tak menahan kehidupan dan suatu yang dititipkan padanya untuk dimiliki sendiri. karena jika ia menahan terlalu lama, janin itu tak akan mengalami kehidupan. Ya!!! Kematian. Dia akan bekerja keras, berkontraksi, agar janin mengalami kehidupan yang sesungguhnya, dimana sang bayi akan hidup dari dirinya sendiri. ia harus dilahirkan. Proses kelahiran inilah yang dialami oleh setiap orang yang disebut manusia, sementara RAHIM adalah Alah sendiri yang telah melingkupi, menjaga dan menumbuhkan agar benih kehidupan sungguh mengalami kehidupan. Dalam rahim, ia mengalami ke

Bagai hujan kembali kepada sang ibu pertiwi

Gambar
Hujan siang itu menarikku untuk keluar rumah. Ku turuti saja. Dingin yang menyengat tak menghalangi asaku yang beberapa hari ini sedang rindu untuk menatap dan menyentuh hujan. Ku buka tangan ku. Kubiarkan butiran-butiran lembut tetapi menyimpan kekuatan, mengenai tepat di telapak tanganku. Hujan ini, membawa seluruh diriku berlari ke masa kecilku. Masa anak-anak yang bermain dengan senangnya di bawah hujan. Saat dimana kami sebagai anak kecil mengalami bahwa hujan membuat sakit hanyalah mitos. Bermain di bawah hujan sungguh kegembiraan yang membebaskan. Hujan yang sama itu pula, membawa ku pada masa remaja. Saat gelegar petir menyambar di sekelilingku, yang membuatku bersama ibu kala itu mau tak mau harus berlari menuju “ sopo”. “Sopo” adalah tempat berteduh sementara yang dibangun sederhana di ladang. Aku masih dapat merasakan dinginnya hujan yang menyentuh kulitku kala itu. Di sopo itu, aku dan ibu ku diam saja menatap rintik-rintik hujan. Dalam hening itu, ku dengar ibuku

Antara Pengakuan, ulos dan ingatan akan rumah bapak.

Gambar
"Aku ke kapel dulu" kataku sebelum berjumpa dengan Romo untuk pengakuan dosa. Selalu saja, mataku langsung tertuju pada kain penutup altar di kapel romo romo sepuh di Girisonta ini. Bagaimanapun, kain ini tepatnya ulos ini, selalu mengingatkanku akan diriku sebagai orang batak.  Ulos yang terpampang menutup altar, juga membawa ku menuju rumah masa kecilku. Muncul kembali pengalaman dimana aku begitu dicintai oleh bapak mamak dengan cara mereka masing masing.  .  Ulos ini, mengingatkanku pula, saat saat menjelang keberangkatanku ke Jawa, bapak dan mamak memberi ulos padaku, katanya walau mereka jauh tetapi ulos ini menjadi lambang bahwa mereka akan "maghokkop", mendoakan, menjaga dan mengharapkan yng terbaik untuk "boru panggoaran" putri pertamanya ini.  .  Waktu berlalu begitu cepat, tahun 2008 aku meninggalkan tanah kelahiranku, tetapi setiap kali melihat ulos, setiap kali pula aku terkenang masa indah bersama keluarga.  .  Lalu apa hubungan ulos d

HODIE INCIPAM

Gambar
Allah Sang Penyelenggara, t elah jauh aku melakukan pengembaraan di dunia ini untuk menemukan kerinduan terdalam dari jiwaku yakni:  "Bersatu dengan Engkau" Pernah aku menjumpai-Mu dalam hidup ini, tetapi entah mengapa, aku melepaskanmu lagi dan kembali mencari dalam hidupku. Semakin aku ingin mencarimu, semakin ku temukan diriku yang rapuh dan gagal.  Dalam perjalanan inilah aku belajar bahwa aku tak dapat berjalan sendiri.  Pada cinta-Mulah aku harus selalu menggantungkan diri. Tuhan, aku akan memulai lagi untuk mengikatkan diri pada-Mu. Tak peduli seberapa sering aku jatuh dan harus bangkit lagi. Tuhan, aku akan mulai lagi mengejar waktu-waktu keterlambatan dan  kedangkalan dalam mencintai-Mu. Aku yakin satu hal: penyelenggaraan-Mu akan membimbing segalanya pada kebaikan.  Peganglah hatiku dan isilah dengan cinta-Mu saja. "Hodie Incipiam"  —hari ini, aku mau memulai lagi.       Sr Maria Rosa PI

HIDUP BERARTI BELAJAR BERTAHAN DALAM KEPAHITAN HIDUP

Gambar
. Malam ini, aku berjalan bersama dua anak asrama putra menuju asrama. Malam ini, kami akan belajar bahasa Inggris bersama. Percakapan ku mulai “sudah makan?” “sudah suster” “bagaimana sayurnya, cukup ka tidak?’ “Cukup suster” “cukup apa dicukup-cukupkan” “cukup suster.”   “Kalau seandainya ada lagi, masih mau makan atau su cukup.” “Mau suster” “aha, itu namanya dicukup-cukupkan .” Kami tertawa sejenak. Lalu Tores melanjutkan. “Tidak apa suster, kita latihan untuk hidup susah, supaya hidup dimanapun.” Aha, kata-kata ini bagaikan hujan yang membasahi bumi di tanah yang sedang mengering. Begitu menyejukkan, begitu menghidupkan. Perkataan ini mengingatkanku pada pembicaraan ku dengan karyawan beberapa hari yang lalu “ suster nggak suka dau pepaya ya?” kata mereka “tidak, hidup su pahit, tak usah ko tambah pahit lae ” kataku sambil bercanda. “ dinikmati suster, diterima, nanti yang pahit juga bisa jadi manis ” jawaban singkat tapi menusuk. Begi

Berjaga di Tapal Batas

Gambar
Hari ini kami melakukan perjalanan ke Wini dan Motaain, dua tempat yang menjadi perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Menginjakkan kaki sampai perbatasan adalah suatu mimpi ku sejak dulu. Entah mengapa, meletakkan satu tubuh pada dua negara dengan satuan waktu dan bahasa yang berbeda adalah suatu kebanggaan. Yang menarik dari perjalanan ini adalah garis yang membatasi dua negara ini. Disinilah ambang berakhirnya suatu perjalanan. Titik itu, yang memisahkan satu negara dengan negara lain, juga menjadi titik temu dari dua negara yang berbatasan. Kami, tak dapat lagi melanjutkan perjalanan melewati garis itu tanpa surat dan izin resmi, atau kami harus siap untuk diusir oleh penjaga negara tetangga. Demikian juga sebaliknya, orang   Timor leste tidak akan dapat melewati garis batas ini tanpa izin dan surat resmi. Bukankah ada satu titik dalam setiap kehidupan manusia, yang menjadi titik berhenti, mandeg dan tak dapat lagi melakukan suatu dalam hidupnya?? Tetapi titik itu

Senja di Tanah Timor

Gambar
Surup-surup telah menjumpai tanah yang ku injak. Begitu cepatnya sang terang meninggalkan kota di atas karang ini. Tetapi senja ini, begitu indah, begitu menarik hati untuk berdiam diri dan menikmatinya. Ya, keeksotisan dari suatu senja ke senja berikut adalah hal yang selalu kunantikan. Perpaduan yang sangat luar biasa. Perjalanan sang hari dari terang menuju gelap. Dua warna yang menyatu lekat di tapal batas bumi dan langit, dan hati ku selalu terhanyut dalam alunan simponi kekaguman pada yang Ilahi. Bagaimana tidak, Ia melukiskan keindahan alam yang begitu menggoda untuk tak berkutik. Awesome. Sang senja telah mem” booking ” seluruh hati ku untuk tenteram. Darinya aku belajar arti sebuah kerelaan. Kerelaan untuk meninggalkan suatu yang lama, menuju suatu yang baru. Sang senja juga menjadi saat untuk tenang dan mensyukuri suatu yang telah terjadi, mengendapkannya dalam pangkuan sang malam lalu membuat harapan baru saat mentari pagi di ufuk timur mulai menunjukkan sayapnya.

O, Uis Neno

Gambar
Tuhan, mau buat apa di tanah kering ini? Perjalanan ku menuju tanah Timor ini, yang kata orang dengan julukan “Kota diatas karang”, adalah perjalanan yang penuh misteri. Semua terjadi begitu saja, tanpa persiapan, tanpa tahu harus melakukan apa disni. Tetapi semangatku tidaklah surut walau melewati jalan berliku dan berbatu. Satu hal yang menyesakkan hati: tanah mengering, tanaman layu, debu berseliweran dimana-mana. Seperti pagi ini, saat aku bersemangat untuk menyiram tanaman yang mulai mengering, karyawan mengatakan, suster, “ bagaimana kita mau siram, air saja harus beli”. “Oh Uis Neno. Berilah kami hujan. Ya sudah, kalau kalian mencuci tangan atau piring, tampung saja airnya untuk kita siramkan ke tanaman yang ada. ” Begitulah yang terjadi, kami sedang menunggu belas kasih Allah untuk menurunkan hujan di tanah kering ini. Sore hari, saat aku berjalan diantara kering bebatuan di belakang poliklinik, aku menemukan daun hijau bertumbuh subur diantara batang kayu ya